Rayuan Setan Dalam Pacaran


Para pembaca yang budiman, ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap perkara yang dinginkannya berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)
Adab Bergaul Antara Lawan Jenis
Islam adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia, bagaimana pergaulan antara lawan jenis. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama kita adalah:
1. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendahlah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur: 31)
2. Tidak berdua-duaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
3. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan)
Jika memandang saja terlarang, tentu bersentuhan lebih terlarang karena godaannya tentu jauh lebih besar.
Salah Kaprah Dalam Bercinta
Tatkala adab-adab bergaul antara lawan jenis mulai pudar, luapan cinta yang bergolak dalam hati manusia pun menjadi tidak terkontrol lagi. Akhirnya, setan berhasil menjerat para remaja dalam ikatan maut yang dikenal dengan “pacaran“. Allah telah mengharamkan berbagai aktifitas yang dapat mengantarkan ke dalam perzinaan. Sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesugguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32). Lalu pintu apakah yang paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Kapan saja ia bisa masuk. Bukankah saat berpacaran ia tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang? Bukankah dengan pacaran ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya? Bukankah orang yang berpacaran senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaan pacarnya? Maka farjinya pun akan segera mengikutinya. Akhirnya penyesalan tinggallah penyesalan. Waktu tidaklah bisa dirayu untuk bisa kembali sehingga dirinya menjadi sosok yang masih suci dan belum ternodai. Setan pun bergembira atas keberhasilan usahanya….
Iblis, Sang Penyesat Ulung
Tentunya akan sulit bagi Iblis dan bala tentaranya untuk menggelincirkan sebagian orang sampai terjatuh ke dalam jurang pacaran gaya cipika-cipiki atau yang semodel dengan itu. Akan tetapi yang perlu kita ingat, bahwasanya Iblis telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan semua manusia. Iblis berkata, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shaad: 82). Termasuk di antara alat yang digunakan Iblis untuk menyesatkan manusia adalah wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.” (HR. Bukhari & Muslim). Kalaulah Iblis tidak berhasil merusak agama seseorang dengan menjerumuskan mereka ke dalam gaya pacaran cipika-cipiki, mungkin cukuplah bagi Iblis untuk bisa tertawa dengan membuat mereka berpacaran lewat telepon, SMS atau yang lainnya. Yang cukup menyedihkan, terkadang gaya pacaran seperti ini dibungkus dengan agama seperti dengan pura-pura bertanya tentang masalah agama kepada lawan jenisnya, miss called atau SMS pacarnya untuk bangun shalat tahajud dan lain-lain.
Ringkasnya sms-an dengan lawan jenis, bukan saudara dan bukan karena kebutuhan mendesak adalah haram dengan beberapa alasan: (a) ini adalah semi berdua-duaan, (b) buang-buang pulsa, dan (c) ini adalah jalan menuju perkara yang haram. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
***
Penulis: Ibnu Sutopo Yuono
Artikel www.muslim.or.id

Agar Seorang Pengusaha Tidak Lalai


بسم الله الرحمن الرحيم
Pengusaha dan kelalaian, apa hubungannya? Bukankah setiap aktivitas dalam hidup manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allah Ta’ala? Lantas mengapa sifat lalai seolah-olah diidentikkan dengan dunia usaha dan bisnis? Bukankah dokter, pegawai, buruh bahkan pengangguran pun bisa lalai?
Jawabannya: memang benar bahwa semua aktivitas manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allah Ta’ala, akan tetapi, tahukah anda bahwa sebagian dari para ulama menyifati dunia bisnis dan jual-beli sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala1?
Inilah yang terungkap dalam makna firman Allah Ta’ala:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).
Imam asy-Syaukani berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menyebutkan perdagangan secara khusus karena inilah (aktivitas) yang paling besar (potensinya) dalam melalaikan manusia dari mengingat Allah2.
Hal ini dikarenakan aktivitas usaha perdagangan berhubungan dengan harta benda dan keuntungan duniawi, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.
Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-Taghabun:15)3.
Oleh karena itu, pasar dan tempat berjual-beli yang merupakan tempat kesibukan mengurus harta perniagaan adalah tempat berkumpulnya setan dan bala tentaranya, yang selalu berusaha untuk membuat manusia lalai dan lupa mengingat Allah Ta’ala4.
Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Tempat yang paling dicintai Allah adalah mesjid dan yang paling dibenci-Nya adalah pasar”5.
Berikut ini, beberapa petunjuk dalam Islam bagi seorang pedagang dan pengusaha untuk memudahkan dirinya terhindar dari kelalaian dan tipu daya setan, dengan taufik dari Allah Ta’ala:
  1. Selalu berdoa kepada Allah Ta’ala memohon keteguhan iman dan penjagaan dari segala bentuk fitnah yang merusak agama. Di antara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah: “Ya (Allah) Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu6.
  2. Berusaha menjaga batasan-batasan syariat Allah Ta’ala dalam semua aktivitas yang dilakukan,baik dalam urusan agama, jual-beli, pergaulan maupun urusan dunia lainnya.
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu (dari segala keburukan), jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu)7.
  3. Berzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati dan lisan sebelum masuk pasar dan tempat berjual-beli lainnya, serta selalu mengingat-Nya, agar terhindar dari kelalaian.
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk pasar kemudian membaca (zikir): Tiada sembahan yang benar kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah yang maha hidup dan tidak pernah mati, ditangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia maha mampu atas segala sesuatu”, maka allah akan menuliskan baginya satu juta kebaikan, menghapuskan darinya satu juta kesalahan, dan meninggikannya satu juta derajat – dalam riwayat lain: dan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga –8.
    Imam ath-Thiibi berkata: “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah (ketika berada) di pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah Ta’ala berfirman tentang keutamaan mereka:{رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ، لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS an-Nuur:37-38)9.
  4. Bersegera melaksanakan shalat lima waktu ketika adzan dikumandangkan dan meninggalkan segala kesibukan jual-beli dan urusan dunia lainnya.
    Imam al-Qurthubi berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Ta’ala) dalam ayat tersebut (di atas)”10.
  5. Berusaha meluangkan waktu untuk melaksanakan shalat dhuha, terutama di saat-saat manusia sedang lalai dan disibukkan dengan urusan jual beli. Inilah yang disebut sebagai shalat al-Awwaabiin, yaitu orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah Ta’ala dengan selalu mentaati-Nya dan bertaubat dari perbuatan dosa11.
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Shalat para al-Awwaabiin (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta kepanasan (karena cahaya matahari)12.
    Shalat pada waktu ini dinamakan shalatnya para al-Awwaabiin karena pada waktu ini biasanya manusia sedang disibukkan dengan urusan dan perniagaan dunia, akan tetapi hamba-hamba Allah Ta’ala yang shaleh dan selalu kembali kepada-Nya memanfaatkan waktu ini untuk beribadah dan berzikir kepada Allah Ta’ala13.
Demikianlah dan semoga bermanfaat bagi para pembaca dengan izin Allah Ta’ala, amiin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 15 Rabi’uts tsani 1434 Abdullah bin Taslim al-Buthoni
1 Lihat kitab tafsir “Fathul Qadiir” (4/52).
2 Ibid.
3 Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
4 Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir” (1/170).
5 HSR Muslim (no. 671).
6 HR at-Tirmidzi (4/448), Ibnu Majah (no. 3834) dan Ahmad (3/112), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
7 HR at-Tirmidzi (4/667) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
8 HR at-Tirmidzi (no. 3428 dan 3429), Ibnu Majah (no. 2235), ad-Daarimi (no. 2692) dan al-Hakim (no. 1974) dari dua jalur yang saling menguatkan. Dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri (dinukil oleh al-mubarakfuri dalam kitab “’Aunul Ma’bud” 9/273) dan syaikh al-Albani dalam kitab “Shahihul Jaami’” (no. 6231).
9 Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul Ahwadzi” (9/273).
10 Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (5/156).
11 Lihat “Syarhu shahih Muslim” (6/30) dan “Bahjatun naazhiriin” (2/310).
12 HSR Muslim (no. 748) dan Ibnu Hibban (no. 2539) dari Zaid bin Arqam .
13 Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/445).

Saking gedenya Anaconda ini,ibaratnya ade ray sekalipun lep abis ditelan,ne fotonya

panjang anaconda tebesar yang pernah ditemukan ini sekitar 8 meter, lebih dari cukup buat nelen seorang ade rai sekalipun
foto2 anaconda ini diambil pas dia uda makan capibara gan, jadi ga tertarik sama fotografer yang ngambil gambarnya

ni bandingin aja sama fotografernya



pic lagi nungguin mangsa di pinggir sungai

Spoilerfor ngintip:


bener2 butuh nyali yang super buat deketin ni ular
Spoilerfor abis makan:

membelah sungai
Spoilerfor raja sungai:



perutnya bisa untuk diisi 2 manusia dewasa
Spoilerfor gede banget:
 

Sumber

Ketahuilah Racun-racun di dalam Sebatang Rokok


Racun dalam Sebatang Rokok
Sebatang rokok cukup untuk memblokir arteri dan memicu serangan jantung.
Mungkin Anda berpikir hanya mengisap sebatang rokok saja tidak akan menimbulkan gangguan kesehatan. Berpikirlah ulang. Sebab, ilmuwan Amerika menemukan sebatang rokok cukup untuk memblokir arteri dan memicu serangan jantung.

Asap tembakau yang mengandung ratusan bahan kimia beracun dapat langsung menimbulkan kerusakan organ tubuh. Dalam studi terbaru ahli bedah menemukan tidak ada tingkat aman seseorang terkena paparan asap rokok, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif.

Ini karena asap rokok langsung merembes ke dalam aliran darah mengubah kimiawi organ sehingga menggumpal dan menekan arteri. Akibatnya arteri menyempit dan tertutup. Laporan tersebut juga menemukan bahkan paparan asap rokok dalam waktu singkat pun dapat memicu serangan jantung.

"Saya menyarankan orang untuk mencoba untuk menghindari berada di sekitar merokok cara apapun yang Anda bisa," kata Dr Regina Benjamin yang menjadi penasehat medis Presiden Obama.

Namun, bagi Anda yang ingin berhenti merokok, tidak ada kata terlambat. Mulailah sekarang juga! Sebab, dalam laporan juga dijelaskan apa yang terjadi dalam tubuh ketika seseorang berhenti merokok

- 20 menit: tekanan darah dan laju nadi kembali normal

- 8 jam: kadar Nikotin dan karbon monoksida dalam darah berkurang setengah dan oksigen kembali normal.

- 24 jam: Karbon monoksida akan hilang dari tubuh. Paru-paru mulai menghilangkan lendir dan kototran akibat rokok lainnya.

- 48 jam: Tubuh membersihkan nikotin dari tubuh. Kemampuan indera merasakan bau dan rasa meningkat

- 72 jam: Bernapas menjadi lebih mudah. Tabung bronkial mulai rileks dan meningkatkan kadar energi.

- 2-12 minggu: sirkulasi darah membaik.

- 3-9 bulan: Batuk, dan masalah pernapasan meningkat seiring membaiknya fungsi paru-paru hingga 10 persen

- 5 tahun: Risiko serangan jantung turun menjadi sekitar setengah dibandingkan para perokok.

- 10 tahun: Risiko kanker paru-paru setengahnya dari para perokok. Risikonya berubah menjadi sama dengan para non perokok.

Renungan Untuk Para Pelaku Bisnis


بسم الله الرحمن الرحيم
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan sebuah kisah yang pantas untuk kita jadikan renungan.
Dikisahkan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya (yang membawa banyak harta dan barang dagangan). Tapi kemudian, (di tengah lautan) kapal tersebut rusak (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan, beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Kemudian ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut: Apakah anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka ulama itu menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu (agama) sebagai (barang) perniagaan (kalian)”1.
Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita semua tentang hakikat kemuliaan dan kebahagiaan yang seharusnya kita utamakan dalam kehidupan ini, yaitu kemuliaan yang selalu menyertai diri kita dalam semua perjalanan yang kita lalui sampai di akhirat nanti.
Adapun kemuliaan semu dan sesaat maka akan berakhir seiring dengan berakhirnya dunia ini dan itu sangatlah cepat terjadinya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Hasyr:18).
Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata tentang ayat ini: “Senantiasa Tuhanmu (Allah Ta’ala) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok”2.
Cobalah renungkan nasehat berharga dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini: “Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (kemuliaan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):
  1. Kebahagiaan (kemuliaan) di luar zat (diri) manusia, bahkan kebahagiaan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
    Kebahagiaan seperti ibaratnya seperti kebahagiaan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
  2. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang kedua: kebahagiaan (kamuliaan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Kebahagiaan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan kebahagian yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair:
    Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
    3Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya:
    وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ
    Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).
    Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka4.
  3. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang ketiga: inilah kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu kebahagiaan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
    Sesungguhnya kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan”5.
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi renungan untuk kita semua, serta menjadi sebab untuk kebaikan diri kita di dunia dan akhirat.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 26 Shafar 1434 H

1 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107).
2 Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahfan” (hal. 152-Mawaaridul amaan).
3 Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis.
4 Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/472), “Tafsir al-Qurthubi” (18/124-125) dan “Fathul Qadiir” (7/226).
5 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107-108).

Al Qur’an Menjadi Pembela Ataukah Musuhmu?


Al Qur’an adalah kalamullah. Al Qur’an bisa bermanfaat dan menjadi pembela kita, atau sebaliknya bisa menjadi musuh bagi kita. Kapan ia menjadi pembela? Kapan sebaliknya menjadi musuh? Tulisan berikut akan sedikit mengulasnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
Al Qur’an itu bisa menjadi pembelamu atau musuh bagimu.” (HR. Muslim no. 223)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An Nawawiyyah berkata, ”Al Qur’an itu bisa menjadi pembelamu, jika engkau melaksanakan nasehat terhadap Al Qur’an.” Nasehat terhadap Al Qur’an telah dijelaskan pada hadits ke-7 dari Al Arba’in An Nawawiyah yaitu hadits ‘Agama adalah nasehat[1]’.

Nasehat Terhadap Al Qur’an

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di nasehat terhadap Al Qur’an adalah dengan:
  1. menghafalkannya,
  2. merenungkannya (men-tadaburinya),
  3. mempelajari lafazh-lafazhnya,
  4. mempelajari (memahami) maknanya,
  5. berusaha mengamalkannya untuk diri sendiri dan mengajarkannya pada yang lainnya. (Demikianlah perkataan beliau dalam Bahjatul Qulub ketika menjelaskan hadits ke-3)
  6. Syaikh Ibnu Utsaimin sendiri mengatakan bahwa nasehat terhadap Al Qur’an harus terkandung beberapa perkara berikut.
Pertama, membela Al Qur’an dari penyelewengan orang-orang bathil dan menjelaskan tentang penyelewengannya.
Kedua, betul-betul membenarkan berita-berita yang ada di dalamnya, tanpa ada keraguan sedikit pun. Orang yang mendustakan dan ragu terhadap berita-berita yang ada di dalamnya, maka dia bukanlah orang yang memberi nasehat terhadap Al Qur’an.
Ketiga, melaksanakan perintah yang terdapat dalam Kitabullah. Jika tidak melaksanakannya, berarti tidak dikatakan memberi nasehat terhadap Al Qur’an.
Keempat, menjauhi segala yang dilarang. Jika tidak menjauhi larangan yang ada dalam Al Qur’an, maka tidak dikatakan sebagai orang yang memberi nasehat terhadap Al Qur’an.
Kelima, mengimani bahwa setiap hukum yang ada dalam Al Qur’an adalah sebaik-baik hukum. Dan tidak ada hukum yang lebih dari hukum yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.
Keenam, mengimani bahwa Al Qur’an adalah kalamullah (bukan makhluk atau ‘produk ilahi’) baik secara huruf maupun makna. Allah betul-betul telah berbicara. Lalu disampaikan Jibril dari Allah ‘azza wa jalla dan diturunkan pada hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan agar Al Qur’an menjadi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.

Kapan Al Qur’an Bisa Menjadi Pembela?

Kami contohkan dengan menerungkan firman Allah Ta’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.” (QS. Al Baqarah [2] : 43)
Misalnya ada dua orang. Salah satunya tidak menunaikan shalat maka Al Qur’an akan menjadi musuhnya. Sedangkan yang lain menunaikan shalat maka Al Qur’an akan menjadi pembelanya.
Begitu pula ada seseorang yang tidak menunaikan zakat, maka Al Qur’an akan menjadi musuhnya. Dan ada orang yang menunaikan zakat, maka Al Qur’an akan menjadi pembela. (Lihat Syarh Arba’in Ibnu Utsaimin, hal. 229)

Akan Turun Ketenangan

Dari Baro’ mengatakan bahwa dulu ada seorang pria membaca surat Al Kahfi dan di sisinya terdapat seekor kuda yang terikat dengan tali. Kemudian tiba-tiba awan mendung dan semakin mendekat (semakin gelap) sehingga kuda tersebut lari. Tatkala pagi, orang itu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal ini. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ
Ketenangan itu datang dengan sebab Al Qur’an.” (HR. Bukhari no. 4839)

Menghafal Al Qur’an

Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
Dikatakan kepada orang yang menghafalkan Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan perdengarkanlah serta tartillah sebagaiman engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464, dikatakan hasan oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawiy)
Al Qur’an akan semakin lekat jika terus diulangi. Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
Sesungguhnya orang yang menghafalkan Al Qur’an adalah bagaikan unta yang diikat. Jika diikat, unta itu tidak akan lari. Dan apabila dibiarkan tanpa diikat, maka dia akan pergi.” (HR. Bukhari no. 5031 dan Muslim no. 789). Dalam riwayat muslim ditambahkan,”Apabila orang yang menghafal Al Qur’an membacanya di waktu malam dan siang hari, dia akan mengingatnya. Namun jika dia tidak melakukan demikian, maka dia akan lupa.”
Janganlah mengatakan ‘aku lupa’ ketika hafalan Al Qur’an hilang tetapi katakanlah ‘aku telah dilupakan’.

Mengkaji Makna Al Qur’an

Dari Abu Musa Al Asy’ariy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالأُتْرُجَّةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ ، وَالْمُؤْمِنُ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالتَّمْرَةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالرَّيْحَانَةِ ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْحَنْظَلَةِ ، طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ
“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah Utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak ada aroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang membaca tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5059)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaatAlhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rahmat Allah, Terhapusnya Dosa Sepenuh Bumi dengan Tauhid


Di antara keutamaan orang yang mati dan bersih dari syirik adalah jika ia membawa dosa yang begitu banyak, maka itu bisa terhapus atau diampuni karena ketauhidan yang ia miliki. Jadi, syaratnya adalah asalkan ia bersih dari syirik. Inilah yang menunjukkan rahmat Allah bagi setiap hamba-Nya yang bertauhid dan bersih dari syirik.
Dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Abu Thohir)

Makna Hadits

Walau seseorang mendatangi Allah dengan dosa sepenuh bumi dan ia memenuhi syarat -walau terasa berat- yaitu berjumpa Allah dalam keadaan bersih dari dosa syirik, maka ia akan meraih ampunan. Syarat yang dimaksud adalah bersih dari syirik yang banyak atau pun yang sedikit, begitu pula selamat dari syirik yang kecil maupun yang besar.
Seseorang tidak bisa selamat dari syirik tersebut melainkan dengan keselamatan dari yang Allah berikan, yaitu menghadap Allah dalam keadaan hati yang bersih (selamat). Sebagaimana AllahTa’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89).
Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah bin Muhammad At Tamimi berkata, “Hadits di atas  menunjukkan pahala yang besar dari tauhid, juga menunjukkan luasnya karunia Allah. Karena dalam hadits dijanjikan bahwa siapa di antara hamba yang mendatangi Allah dengan dosa sepenuh bumi dan ia mati di atas tauhid, maka ia akan mendapatkan ampunan terhadap dosa sepenuh itu pula.” (Taisir Al ‘Azizil Hamid, 1: 248).
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Mentauhidkan Allah (tidak berbuat syirik, -pen) adalah sebab utama mendapatkan ampunan. Siapa yang tidak mentauhidkan Allah (terjerumus dalam kesyirikan dan tidak bertaubat sampai mati, -pen), maka ia akan luput dari ampunan Allah.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 416)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Syirik itu ada dua macam, yaitu syirik besar dan syirik kecil. Siapa yang bersih dari kedua syirik tersebut, maka ia pasti masuk surga. Siapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, maka ia pasti masuk neraka. Barangsiapa yang mati dalam keadaan bersih dari syirik besar, namun masih memiliki syirik kecil dan punya kebaikan lainnya yang mengalahkan dosa-dosanya, maka ia masuk surga. Karena kebaikan bisa saja mengalahkan syirik kecil yang sedikit. Sedangkan jika ia bebas dari syirik besar akan tetapi ia masih memiliki syirik kecil yang banyak sehingga kejelekannya mengalahkan timbangan kebaikan, maka ia masuk neraka. Intinya, syirik itu membuat hamba itu disiksa, baik itu syirik besar maupun syirik kecil. Namun jika syiriknya adalah syirik kecil dan jumlahnya sedikit dan keikhlasan dia bisa mengalahkan dosa syirik kecil tersebut, maka ia tidak disiksa.” (Dinukil dari Taisirul ‘Azizil Hamid, 1: 247).

Sanggahan untuk Khawarij dan Mu’tazilah

Hadits di atas juga berisi bantahan terhadap Khawarij yang mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar. Begitu pula hadits tersebut sekaligus bantahan pada Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang fasik (gemar maksiat) berada dalam ‘manzilah baina manzilatain’ (di antara dua keadaan), yaitu bukan mukmin dan bukan pula kafir, namun kelak ia akan kekal dalam neraka. Yang benar adalah yang menjadi akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu orang fasik tidaklah disematkan iman pada dirinya secara mutlak, begitu pula tidak dihilangkan secara mutlak, namun orang fasik dikatakan mukmin namun kurang imannya atau disebut mukmin namun ahli maksiat, atau bisa disebut pula mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besar yang ia perbuat.

Laa Ilaha illallah Tidak Cukup di Lisan

Jika kita menggabungkan beberapa hadits dengan hadits yang kita kaji saat ini, maka kita bisa tarik pelajaran penting bahwa laa ilaha illallah tidak cukup di lisan. Namun laa ilaha illalah harus pula disertai dengan menjalankan konsekuensinya, yaitu meninggalkan kesyirikan atau tradisi syirik.
Inilah yang kita pahami dari dua hadits berikut ini:
  1. Hadits muttafaqun ‘alaih, dari ‘Itban bin Malik bin ‘Amr bin Al ‘Ajlan Al Anshori, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
    Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Allah) yang dengannya mengharap wajah Allah” (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33).
  2. Hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
    مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ ، أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ ، وَرُوحٌ مِنْهُ ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ
    Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; begitu juga bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, serta kalimat-Nya (yaitu Allah menciptakan Isa dengan kalimat ‘kun’, -pen) yang disampaikan pada Maryam dan ruh dari-Nya; juga bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya; maka Allah akan memasukkan-Nya dalam surga apa pun amalnya.” (HR. Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 28)
Kedua hadits di atas dipahami bahwa kalimat laa ilaha illallah tidak hanya di lisan, namun harus juga dengan memahami makna kalimat mulia tersebut dan meninggalkan kesyirikan. Inilah yang dapat dipahami dari hadits Anas bin Malik yang kita ulas kali ini.
Semoga kita dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan hati yang bersih dari syirikHanya Allah yang memberi taufik.

4 Kewajiban Setiap Insan


Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan dan keberuntungan. Untuk menggapainya ada cara-cara yang harus ditempuh. Untuk meraihnya terdapat jalan yang harus ditapaki. Jalan itu tidak lain adalah dengan beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Menjalankan ibadah artinya melakukan hal-hal yang dicintai Allah dan membuat Allah ridha. Hal itu terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi  larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan itu bisa kita dapatkan di dalam Kitabullah -yaitu al-Qur’an- dan Sunnah -yaitu hadits- Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ayat yang menunjukkan kepada kita bentuk-bentuk ibadah pokok yang menjadi kunci kebaikan, keberuntungan, dan kebahagiaan adalah surat al-’Ashr. Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ  إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ  إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Seandainya umat manusia mau memikirkan kandungan surat ini niscaya hal itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.”
Hal itu dikarenakan, di dalam surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci kebaikan seorang hamba, yaitu:
  1. Iman
  2. Amal salih
  3. Saling menasihati dalam kebenaran
  4. Saling menasihati dalam kesabaran
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya ‘Tsalatsah al-Ushul’ [tiga pondasi agama] menyimpulkan bahwa berdasarkan surat ini setiap kita wajib untuk mempelajari empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
  1. Ilmu
  2. Amal
  3. Dakwah
  4. Sabar
Ya, kalau kita lihat sekilas sepertinya kedua keterangan di atas berbeda. Di atas disebutkan bahwa empat hal yang menjadi kunci kebaikan itu adalah iman, amal salih, menasihati dalam kebenaran, dan menasihati dalam kesabaran. Sementara di bawahnya disebutkan bahwa kewajiban kita adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Apakah bertentangan?

Pengertian Iman

Baiklah, untuk memahami masalah ini, kita perlu untuk mengenal apa sebenarnya hakikat atau pengertian iman itu sendiri. Para ulama kita menerangkan, bahwa iman adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan makna iman secara khusus di dalam hadits Jibril yang sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan malaikat Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan ihsan. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah ‘kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk’ (HR. Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu)
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa iman tidak akan benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu yang benar pula. Oleh sebab itulah tepat sekali apabila dikatakan bahwa kewajiban beriman -sebagaimana ditunjukkan oleh ayat dalam surat al-’Ashr di atas- juga menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Bagaimana dengan ketiga hal yang lain? Ya, akan kita lihat bahwa tiga perkara yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi -yaitu amal, dakwah, dan sabar- tidaklah bertentangan dengan makna ayat -yaitu amal salih, menasihati dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran-; bagaimana penjelasannya?
Ya, tentu saja yang dimaksud wajibnya beramal adalah amal yang salih. Kemudian menasihati dalam kebenaran itu dalam ungkapan lain lebih kita kenal dengan istilah dakwah. Adapun kesabaran secara otomatis telah tercakup dalam menasihati dalam kesabaran; sebab itulah tujuan utama dari nasihat tersebut; yaitu agar bersabar.
Baiklah, berikut ini akan kami paparkan sekilas tentang keempat hal itu mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan kepada kita.

[1] Menuntut Ilmu

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan dalilnya. Apabila disebutkan kata ‘ilmu’ -dalam pembicaraan para ulama atau dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar’i/ilmu agama (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
Banyak sekali dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Diantaranya, Allah ta’ala berfirman,
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
Dan orang-orang yang diberikan ilmu itu melihat bahwasanya apa yang diturunkan dari Rabbmu kepadamu itulah kebenaran” (QS. Saba’: 6).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang berilmu itulah yang bisa melihat kebenaran yaitu pada apa-apa yang diturunkan Allah (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/222])
Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
Apakah orang yang telah mati [hatinya] lalu Kami hidupkan kembali dan Kami jadikan baginya cahaya yang bisa membuatnya berjalan di tengah-tengah manusia seperti keadaan orang yang sama dengannya yang masih berada di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak keluar darinya” (QS. Al-An’am: 122)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah orang yang dahulunya mati hatinya karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali dengan ilmu (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/232])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah niscaya akan Allah pahamkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)

[2] Beramal Salih

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (QS. Ash-Shaff: 2-3) (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah, hal. 6)
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para Nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirathal mustaqim. Apabila ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai [al-maghdhubi 'alaihim] seperti halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
  2. Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam berbagai kebid’ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti halnya orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita maka dia menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka dia menyerupai kaum Nasrani.”
  3. Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai berulang kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Oleh sebab itulah para salafus shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam beramal. Tidak sebagaimana kita yang hanya bersemangat untuk ‘menghitamkan kertas’ [menyusun banyak tulisan, pent] namun tidak bersemangat untuk beramal. Para salafus shalih tidak demikian! Bahkan, mereka adalah orang-orang yang bersemangat untuk berilmu dan beramal (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 44-47)
Allah ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang beramal salih dari kalangan laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan karuniakan kepadanya kehidupan yang baik. Dan Kami akan membalas mereka dengan balasan yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97) (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 73)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal shalih -yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya- apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/601])
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

[3] Ikut Serta Dalam Dakwah

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya, dengan ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran untuk berilmu dan beramal (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/239])
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: Inilah jalanku; aku berdakwah/mengajak [kalian] kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).
Apabila seorang insan telah berusaha menyempurnakan kekuatan ilmu dan amal dalam dirinya, maka sudah semestinya dia berusaha berpartisipasi untuk mencurahkan kebaikan kepada orang lain dalam rangka meneladani para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah perkara yang sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apabila melalui perantaramu Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta merah” (HR. Muslim) (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia akan dimintakan ampunan oleh setiap binatang melata, bahkan oleh ikan yang berada di dalam lautan sekalipun.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 14)
Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Meskipun demikian, tidak boleh dilupakan bahwasanya dakwah harus dilandasi dengan ilmu, bukan bermodal semangat belaka. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid[1/82])
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)

[4] Menghiasi Diri Dengan Kesabaran

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid [2/107 dan 109])
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya…. Imannya  tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir[1/145])
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami” (QS. as-Sajdah: 24).
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya,
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran” (QS. al-’Ashr: 3).
Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “.. Sesungguhnya tidaklah ada seorang da’i yang mengajak manusia kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali pasti menghadapi orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana yang dihadapi oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran; yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman dan sebaik-baik bekal bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengannya atau selainnya, dia harus menjadi orang yang penyabar.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)
Allah ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sementara Allah belum mengetahui -menunjukkan- siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar” (QS. Ali ‘Imran: 142)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam kebaikan-. Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dilatih dan digembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan diperoleh sesudahnya- niscaya itu semua akan berubah menjadi karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah/ilmu, mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)
Sabar dengan makna yang luas terbagi menjadi 3; yaitu sabar dalam melakukan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah. Termasuk sabar dalam ketaatan adalah sabar dalam menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kesabaran.

Penulis: Ari Wahyudi

Manfaat Air Liur Manusia

Semua Manusia pasti mengenal yang namanya Air liur atau ludah, namun tidak banyak diantara kita yang mengetahui apasih manfaat utama dari air liur atau ludah itu?
Air liur atau air ludah dalam bahasa ilmiah dikenal dengan Saliva adalah cairan bening yang dihasilkan oleh Manusia dan beberapa jenis hewan. Pada air liur atau ludah ini terkandung beberapa unsur, antara lain adalah Elektrolit yang mengandung Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium. Mukosa yang mengandung Mukopolisakarida dan Glikoprotein, senyawa antibakteri dan beberapa macam enzim.
Didalam air liur atau air ludah terkandung zat yang dapat membantu proses penyembuhan luka pada manusia yang disebut dengan Histatin, Histatin adalah protein yang dihasilkan oleh air liur yang dipercaya dapat membunuh bakteri-bakteri jahat pada luka. Fakta ini juga menjawab mengapa luka pada mulut, seperti luka setelah pencabutan gigi dapat sembuh lebih cepat dibandingkan dengan luka pada kulit atau tulang.

Air liur juga dapat dimanfaatkan untuk mengungkap identitas seseorang karena dari air liur itu bisa didapatkan sampel untuk DNA, walaupun pada air liur sel DNA tetapi sel-sel dari lapisan mulut dapat ditemukan pada sampel air liur. Air liur dapat memberikan petunjuk apa saja yang telah dimakan dan obat-obatan yang mungkin dikonsumsi.
Air liur juga berfungsi untuk membantu proses pencernaan makanan di dalam mulut seperti membersihkan makanan dan sel-sel mati di dalam mulut, mengikat makanan menjadi bola sehingga dapat ditelan, membersihkan makanan yang tersisa dan bakteri dari gigi, mencegah lapisan rongga mulut menjadi kering, menghancurkan atau mencegah pertumbuhan jamur di dalam mulut, menetralisir asam dari makanan yang dimakan, dan membantu menumbuhkan enamel gigi yang rusak karena kalsium dan kadar phospor.

Sumber http://semuaitubermanfaat.blogspot.com/2012/01/manfaat-air-liur-manusia.html#ixzz2bGwusNSn

Hati Tidak Terpengaruh dengan Ayat yang Dibaca


Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- pernah ditanya bagaimanakah seseorang mampu untuk menguatkan iman, padahal ketika membaca ayat-ayat Al Qur’an, ia tidak terpengaruh kecuali sedikit.
Syaikh rahimahullah memberikan nasehat berharga bahwa yang bertanya seperti ini berarti adalah orang yang nampak beriman pada hari akhir dan membenarkannya. Akan tetapi, hatinya masih tertutupi kotoran. Kotoran hati pada zaman kita ini banyak sekali.
Di antara sebab kotornya hati adalah berpaling dari beribadah dan ketundukan pada Allah secara sempurna. Seandainya seseorang beribadah dan tunduk pada Allah secara sempurna, maka ia akan dapati hatinya itu lembut dan penuh kekhusyu’an. Begitu pula ketika seseorang dapat menerima kandungan Al Qur’an, juga dapat merenungkan maknanya, maka hatinya pun akan nampak hal yang sama, yaitu menjadi lembut dan penuh kekhusyu’an. Allah Ta’ala berfirman,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآَنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.” (QS. Al Hasyr: 21).
Sebab lain yang membuat hati tertutup adalah karena cinta dunia dan terfitnah dengan kemewahannya. Oleh karena itu, kita lihat bahwa para pemuda yang belum dibukakan pintu dunia baginya, malah terlihat khusyu’ dan mudah menangis dalam beribadah dibanding dengan orang yang berusia dewasa yang telah diberikan kemewahan dunia. Inilah yang kita saksikan saksikan di Masjidil Haram. Kita lihat bahwa para pemuda yang berumur 18 tahun terlihat lebih mudah menangis ketika mengingat ayat Allah yang berisi ancaman dan motivasi dibanding dengan mereka yang berusia lebih tua. Karena hati mereka lebih lembut dan hatinya tidak banyak tersibukkan dengan dunia. Pandangan mereka tidak ditujukan pada perhiasan dunia yang jauh maupun yang dekat. Oleh karenanya, mereka lebih mudah khusyu’ dan hatinya lebih lembut dibandingkan dengan orang lain yang telah dibukakan pintu dunia.
Nasehat Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin kepada si penanya adalah agar hatinya cukup disibukkan dengan agamanya (jangan dilalaikan dengan dunia, -pen). Kemudian beliau nasehati agar si penanya rajin membaca Al Qur’an sambil merenungkan makna yang dibaca. Begitu pula beliau nasehatkan agar rajin membaca berbagai hadits yang berisi motivasi penyemangat dan juga ancaman supaya bisa terus melembutkan hati.

Kapan Membaca Do’a Iftitah pada Shalat Idul Fitri dan Idul Adha?


Sebagaimana telah dijelaskan dalam Panduan Shalat ‘Ied, ada anjuran untuk melakukan 7 takbir zawaid (takbir tambahan) pada rakaat pertama dan 5 takbir zawaid pada rakaat kedua. Namun dalam shalat ied juga kita dianjurkan membaca doa iftitah. Kapan kita membaca do’a iftitah ini, apakah langsung setelah takbiratul ihram, ataukah setelah takbir zawaid? Moga penjelasan dari Ibnu Qudamah yang dibawakan oleh Muslim.Or.Id berikut bermanfaat.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,
“Do’a istiftah dibaca setelah takbir pertama (yaitu takbiratul ihram), kemudian diikuti dengan melakukan takbir zawaid untuk shalat ‘ied. Setelah itu membaca ta’awudz, diikuti dengan membaca surat. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Sedangkan Imam Ahmad dalam pendapat lainnya menyatakan bahwa do’a istiftah dibaca setelah membaca beberapa kali takbir (takbir zawaid). Inilah yang menjadi pendapat Al Khollal dan muridnya, begitu menjadi pendapat Al Auza’i karena setelah istiftah langsung dibaca isti’adzah (ta’awudz) dan itu dilakukan sebelum membaca Al Fatihah.
Abu Yusuf berkata bahwa ta’awudz dilakukan sebelum takbir supaya ada pemisah antara do’a istiftah dan membaca ta’awudz.
Sedangkan menurut kami (Ibnu Qudamah) bahwa do’a istiftah itu dianjurkan dibaca untuk membuka shalat. Maka lewat do’a istiftah adalah di awal sebagaimana dalam shalat lainnya. Sedangkan pembacaan ta’awudz dilakukan sebelum membaca surat. Ta’awudz letaknya selalu diikuti setelahnya dengan pembacaan surat. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98). (Al Mughni, 3: 273-274).
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, setelah takbiratul ihram, lalu diikuti dengan pembacaan do’a istiftah, kemudian melakukan takbir zawaid, diikuti dengan ta’awudz dan pembacaan surat. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dalam hal ini, juga menjadi pendapat mayoritas ulama. Wallahu a’lam.
ReferensiAl Muhghni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.

Khawatir Amalan Lenyap Tanpa Sadar


Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Shahihnya di Kitab al-Iman sebuah bab dengan judul “Bab. Rasa takut seorang mukmin dari lenyapnya amalannya dalam keadaan dia tidak menyadarinya”. Di dalamnya beliau membawakan perkataan para ulama salaf yang menunjukkan betapa besar rasa takut mereka terhadap hal ini. Takut kalau-kalau apa yang selama ini mereka lakukan ternyata tidak bermanfaat di sisi Allah ta’ala. Padahal, mereka adalah mereka …
Imam Ibnu Baththal rahimahullah menerangkan bahwa tujuan Imam Bukhari dengan bab ini adalah dalam rangka membantah sekte Murji’ah yang mengatakan bahwasanya Allah sama sekali tidak akan mengazab karena kemaksiatan terhadap orang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah. Dan menurut Murji’ah pula, bahwa amalan para pelaku maksiat itu pun tidak akan terhapus dengan sebab dosa apapun. Dengan latar belakang itulah Imam Bukhari membawakan di awal bab ini ucapan para imam dari kalangan tabi’in dan juga penukilan dari para Sahabat yang menunjukkan bahwasanya meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesungguhan dalam beramal namun ternyata mereka masih menganggap sedikit amalannya, dan mereka takut kalau-kalau dirinya tidak akan selamat dari azab Allah (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])

[1] Ucapan Ibrahim at-Taimi

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada perbuatanku kecuali aku khawatir bahwa aku pasti akan didustakan.” Ibrahim at-Taimi adalah salah seorang fuqaha tabi’in dan ahli ibadah diantara mereka. Maksud ucapan beliau adalah: Aku takut orang yang melihat amalanku akan mendustakanku apabila perbuatanku bertentangan dengan apa yang aku katakan. Sehingga orang itu akan berkata, “Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapanmu.” Beliau mengucapkan hal itu karena beliau adalah orang yang sering memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang-orang.
Sebagai orang yang biasa memberikan nasehat kepada orang lain, beliau menyadari bahwa dirinya tidak bisa mencapai puncak kesempurnaan amalan. Di sisi yang lain, beliau juga mengetahui bahwa Allah mencela orang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar namun tidak beramal dengan baik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Amat besar kemurkaan di sisi Allah, ketika kalian mengucapkan apa-apa yang kalian sendiri tidak lakukan.” (QS. ash-Shaff: 3). Oleh karena itulah beliau merasa khawatir dirinya termasuk golongan pendusta atau menyerupai perilaku para pendusta (lihat Fath al-Bari [1/136-137])

[2] Ucapan Ibnu Abi Mulaikah

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan minimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” Para Sabahat yang ditemui oleh Ibnu Abi Mulaikah ketika itu -yang paling mulia diantara mereka- adalah ‘Aisyah, Asma’, Ummu Salamah, Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, ‘Uqbah bin al-Harits, dan al-Miswar bin Makhramah.
Perasaan itu muncul dalam diri mereka disebabkan seorang mukmin terkadang amalannya tercampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan keikhlasan. Bukan berarti, apabila mereka takut akan hal itu mereka benar-benar terjerumus ke dalamnya. Akan tetapi itu semua dikarenakan kesungguhan mereka dalam hal wara’/kehati-hatian dan ketakwaan. Mereka juga menyadari bahwa keimanan manusia tidaklah seperti keimanan Jibril yang tidak pernah tertimpa kemunafikan. Mereka menyadari bahwa keimanan manusia itu bertingkat-tingkat, tidak dalam derajat yang sama. Tidak sebagaimana orang-orang Murji’ah yang beranggapan bahwa keimanan orang-orang yang paling baik (kaum shiddiqin) sama dengan keimanan orang-orang selain mereka (lihat Fath al-Bari [1/137])

[3] Ucapan Hasan al-Bashri

Hasan al-Bashri rahimahullah juga mengatakan, “Tidaklah merasa takut darinya (kemunafikan) kecuali orang mukmin.” Ja’far al-Firyabi mengatakan: Qutaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari al-Mu’alla bin Ziyad. Dia berkata: Aku mendengar al-Hasan bersumpah di dalam masjid ini, “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia pasti merasa aman dari kemunafikan.” Beliau (Hasan al-Bashri) berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan maka justru dialah orang munafik.” (lihat Fath al-Bari[1/137])

Demikianlah Karakter Mereka …

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang karena rasa takut mereka kepada Rabbnya maka mereka pun dirundung oleh rasa cemas. Orang-orang yang mengimani ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka. Begitu pula orang-orang yang memberikan apa yang mampu mereka sumbangkan sementara hati mereka diwarnai dengan rasa takut, bagaimana keadaan mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang terdahulu melakukannya.” (QS. al-Mu’minun: 57-61)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bersama dengan kebaikan, keimanan, dan amal saleh yang ada pada diri mereka ternyata mereka juga senantiasa merasa takut dan khawatir akan hukuman Allah serta makar-Nya kepada mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan rasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan rasa aman.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/350] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).
Isma’il bin Ishaq menyebutkan riwayat dengan sanadnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang dimaksud oleh ayat (yang artinya), “Orang-orang yang memberikan apa yang telah berikan, sedangkan hati mereka merasa takut.” (QS. al-Mukminun: 60). Maka Nabi menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang rajin menunaikan sholat, berpuasa, dan bersedekah. Meskipun demikian, mereka merasa takut apabila amal-amal mereka tidak diterima di sisi-Nya.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/110])
Demikianlah keadaan orang-orang yang tauhidnya lurus. Mereka khawatir diri mereka terjerumus dalam hal-hal yang merusak keimanan mereka dalam keadaan mereka tidak menyadarinya. Ibrahim ‘alahis salam -seorang Nabi Allah, Ulul Azmi, bapaknya para Nabi, pemimpin orang-orang yang bertauhid, dan kekasih ar-Rahman- pun menyimpan rasa takut yang sangat besar dari kemusyrikan. Allah ta’ala mengisahkan doa yang beliau panjatkan, “(Wahai Rabbku) Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35). Ibrahim at-Taimi pun berkomentar, “Lantas, siapakah yang bisa merasa aman dari musibah (syirik) setelah Ibrahim?” (lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 72 cet. Dar al-Hadits)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam; orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah tentangnya, bahkan beliau pula yang telah menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya, sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)

Kisah Tsabit bin Qais

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan: Tatkala turun ayat ini (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengangkat suara kalian lebih tinggi daripada suara Nabi. Dan janganlah kalian mengeraskan suara kalian di hadapannya sebagaimana kalian ketika kalian berbicara satu dengan yang lain, karena hal itu akan membuat amal kalian menjadi terhapus dalam keadaan kalian tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat: 2). Maka Tsabit bin Qais pun hanya duduk di rumahnya dan berkata, “Aku termasuk penghuni neraka.” Dan dia pun menutup diri tidak mau berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Wahai Abu ‘Amr, ada apa dengan Tsabit? Apakah dia sedang sakit?”. Sa’ad menjawab, “Sesungguhnya dia adalah tetanggaku. Dan sepengetahuanku dia tidak sakit.” Anas berkata: Maka Sa’ad bin Mu’adz pun mendatanginya lalu menceritakan kepadanya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Tsabit pun menjawab, “Telah turun ayat ini. Dan kalian pun mengetahui bahwasanya aku adalah orang yang paling tinggi suaranya dibandingkan kalian di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau begitu berarti aku termasuk penghuni neraka.” Kemudian, Sa’ad pun menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan dia termasuk penghuni surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [119])
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila dengan mengangkat suara mereka lebih tinggi daripada suara beliau itu menjadi sebab terhapusnya amalan mereka, maka bagaimana lagi dengan orang yang lebih mendahulukan pendapat mereka, akal mereka, perasaan mereka, politik mereka, atau pengetahuan mereka daripada ajaran beliau bawa dan mengangkat itu semua di atas sabda-sabda beliau? Bukankah itu semua lebih pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal mereka?” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])
Lihatlah saudaraku, bagaimana para ulama salaf dengan ketakwaan dan ilmu yang mereka miliki. Mereka begitu merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Demikian pula Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang khawatir dirinya terjerumus dalam kemusyrikan. Begitu pula, Sahabat Tsabit bin Qais radhiyallahu’anhu yang takut amalnya terhapus karena suaranya lebih tinggi daripada suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidakkah kita -dengan segala kekurangan dan dosa yang kita miliki- merasa takut diri kita terjatuh ke dalam kemunafikan, syirik, dan terhapusnya amal kita dalam keadaan kita tidak sadar?! Aduhai, siapakah kita jika dibandingkan dengan mereka semua??

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Diberdayakan oleh Blogger.