Berkata Imam Ibnu Qayyim dalam al wabilush shayyib (secara makna) bahwa
“Yang paling utama pada setiap orang yang beramal adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allaah.”
Contoh 1: Syahadat
Bersyahadat itu sendiri adalah dzikir lisan. Namun yang membedakan
derajat orang-orang yang bersyahadat adalah dzikirnya ketika mengucapkan
syahadat tersebut, dan konsistensi dzikir yang ada padanya ketika
mengamalkan syahadat tersebut.
Seorang yang BENAR-BENAR JUJUR syahadatnya akan benar-benar dapat
mewujudkan ketaqwaan dalam dirinya. Semakin sedikit kandungan kejujuran
dalam dirinya, semakin sedikit pengamalan dari syahadat tersebut.
Semakin banyak kandungan dusta dalam dirinya, semakin menjauhkannya dari
kandungan syahadat tersebut; bahkan mungkin dapat membatalkan
syahadatnya karena kedustaannya tersebut (na’uudzubillah)
Contoh 2: Shalat
Shalat itu sendiri adalah dzikir anggota badan dan lisan. Maka yang
meninggikan derajat shalat satu orang dengan orang lain adalah dzikirnya
didalam shalat tersebut. Dzikir tersebut adalah keikhlashan,
kekhusyu’an, (memfokuskan hatinya hanya pada shalat tersebut) dan
tadabbur setiap bacaan dan gerakan yang ia lakukan dalam shalat.
Maka barangsiapa yang paling banyak dzikirnya dalam shalatnya; yaitu
paling ikhlash, paling khusyu’ serta paling mentadabburi setiap ucapan
dan gerakan dalam shalatnya, maka dialah yang paling banyak meraih
kemanfaatan dalam shalat tersebut.
Oleh karenanya, Rasuulullaah mengabarkan ada sebagian umatnya yang
hanya mendapatkan sepersepuluh dari pahala shalat (karena kurang
khusyu’nya ia dalam shalatnya); bahkan beliau mengabarkan ada yang
shalat enam puluh tahun, tapi tidak diterima Allaah shalat-nya. Mengapa?
karena ia tidak menegakkan punggungnya pada saat ruku’ dan sujud (yaitu
ia tidak thuma’ninah, tidak pula khusyu’ dalam shalatnya).. Demikian
pula Rasuulullaah mengabarkan orang munaafiq itu kalau shalat berdiri
dengan malas, dan shalatnya seperti burung yang mematok makanan saking
cepatnya; karena ia ketika shalat sedikit sekali dzikir kepada Allaah.
(na’uudzubillaah)
Contoh 3: Zakat / Memberi Nafkah (yang wajib) / Sedekah (secara umum)
Maka hendaknya ketika kita mengeluarkan zakat, kita benar-benar
menghadirkan dalam hati kita keikhlashan (bahwa kita mengamalkannya
hanya karena Allaah, dan hanya mengharapkan balasan dariNya), juga
menghadirkan dalam hati kita kebesaranNya… Agar kita mendapatkan pahala
yang lebih banyak disebabkan dzikir tersebut… Jika hati tidak disibukkan
dengan dzikir, maka dikhawatirkan menggerogotinya penyakit riyaa’,
ujub, takabbur, dan lain-lain; yang malah membatalkan pahala sedekah
tersebut! Sebagaimana kaum munaafiqiin yang amat terpaksa dalam
mengeluarkan zakat, apalagi sedekah. Sebagaimana kaum faasiqiin yang
sum’ah (memperbincangkan zakat/sedekah-nya dalam rangka meraih
pujian/popularitas/kekuasaan/dll). Sebagaimana pula kaum yang zhaalim
yang sering menyebut-nyebut sedekah pemberiannya kepada orang lain,
sehingga menyakiti hati orang tersebut. (na’uudzubillaah)
Contoh 4: Shaum
Dalam shaum, kita bisa memperbanyak dzikir dengna dua hal: dzikir
hati dan dzikir lisan. Dzikir hati inilah yang didik dalam shaum kita…
Selain kita dituntut untuk menjaga keabsahan shaum tersebut, kita pun
hendaknya menjaga kesempurnaan pahala shaum tersebut dengan menjaga diri
ktia dari perkara-perkara yang dilarang, dan menyibukkan diri terhadap
perkara-perkara yang bermanfa’at. Inilah yang harus terus kita
tancampkan dalam hati kita, agar dari terbit fajar hingga terbenam
matahari, kita termasuk orang yang paling banyak berdzikir kepadaNya.
dan kita pun bisa menambahkan dzikir-dzikir lisan: seperit memberbanyak
bacaan tasbih/tahmid/takbir/tahlil/hawqalah/dll, juga memperbanyak
bacaan al Qur-aan… Bahkan memperbanyak shalat sunnah (yang merupakan
dzikir anggota badan)… Sehingga kita dapat meningkatkan kualitas shaum
kita dengan banyaknya dzikir hati, dzikir lisan ketika kita sedang
shaum…
Maka demikian pula berlaku pada amalan-amalan lain seperti berdoa, haji, jihaad dan lain-lain…
[Sebagai tambahan, hanya dengan dzikir-lah... yang dapat
membedakan mana perbuatan mubah yang dapat bernilai ibadah, dan mana
yang hanya merupakan kesia-siaan... Yaitu dengan niat pelakunya, yang ia
menjadikan perbuatan mubah-nya sebagai peribadatan kepada Rabbnya :
seperti mandi (yang diniatkan dalam rangka membersihkan badan),
berpakaian (dalam rangka menutup aurat, dan beribadah kepadaNya),
menelpon orang tua/saudara (dalam rangka birrul walidayn, silaturrahim,
berbuat baik), dll]
Semoga bermanfa’at
Sumber www.abuzuhriy.com
1 komentar:
gerhgedh
Posting Komentar