وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا
كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ. قَالَ
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia
sebagai orang yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah
bercakap-cakap dengannya, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari
ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi
kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
(Yusuf: 54-55)
“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap
dari seorang yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu
dambaan yang selama ini dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa
yang diduga dan dikira.
Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya
bagi para pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala
dihadapkan pada sebuah tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).
Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya
kejatuhan rezeki, susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali.
Belum tentu seumur hidup bisa ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau
mungkin…
“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”
“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan
perubahan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam
dan sistem kenegaraan yang bernuansa Islam?”
“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan mudah dikendalikan dan dikuasai.”
Penjelasan dan Makna Ayat
وَقَالَ الْمَلِكُ
“Dan raja berkata.”
Al-Imam Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir rahimahullahu
(224-318 H), dalam tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (16/147)
menerangkan bahwa raja yang dimaksud dalam ayat ini adalah raja yang
terbesar (terkemuka). Ia bernama Ar-Rayyan bin Al-Walid, sebagaimana
tersebut dalam sebuah riwayat dari jalan Ali bin Hussain, dari Muhammad
bin Isa, dari Salamah, dari Muhammad bin Ishaq. (lihat pula Tafsir Ibnu
Katsir 4/275, Ibnu Abi Hatim 8/383)
أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي
“Aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku.”
Maknanya adalah: “Aku jadikan dia sebagai orang khusus dan penasihat
khusus bagi diriku.” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan
Al-Baghawi).
Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi
rahimahullahu (wafat pada th. 327 H), menyebutkan dalam kitab tafsirnya
(8/386), riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Raja mengatakan
kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam, “Sesungguhnya aku menyukai agar kamu
menemaniku dalam setiap keadaan, kecuali dalam urusan keluargaku. Karena
aku tidak suka makan bersamamu.”
Mendengar hal itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam marah sambil berkata:
“Aku lebih berhak untuk menjauhkan diri, karena orangtuaku adalah
Ibrahim Khalilullah, orangtuaku Ishaq dzabihullah.” Pada riwayat lain
dengan lafadz: “Yusuf bin Ya’qub, Nabiyullah bin Ishaq dzabihullah bin
Ibrahim Khalilullah.”
فَلَمَّا كَلَّمَهُ
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengannya.”
Al-Imam Al-Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud rahimahullahu
wafat th. 516 H, dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil (4/250-251)
menyebutkan riwayat dari Wahb (bin Munabbih, pen.). Ketika Nabi Yusuf
‘alaihissalam mendatangi sang raja dan mengucapkan salam kepadanya
dengan bahasa Arab. Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Nabi Yusuf
‘alaihissalam menjawab, “Ini bahasa pamanku, Nabi Ismail.” Kemudian Nabi
Yusuf ‘alaihissalam mendoakannya dengan bahasa Ibrani. Raja bertanya,
“Bahasa apakah ini?” Dijawab, “Ini bahasa ayah-ayahku dan raja tidak
tahu dengan dua bahasa tersebut.”
Wahb juga bercerita bahwa sang raja (Ar-Rayyan bin Al-Walid) ini
menguasai 70 bahasa. Setiap kali berbicara dengan suatu bahasa, Nabi
Yusuf menjawabnya dengan bahasa yang sesuai, bahkan menambah dengan dua
bahasa, yaitu Arab dan Ibrani. Melihat hal ini, sang raja heran dan
terkesan, dalam keadaan Nabi Yusuf masih muda. Usia beliau pada waktu
itu baru mencapai 30 tahun. Maka raja mendudukkannya, dan berkata,
sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami’.”
Sebagian meriwayatkan, bahwa raja ingin mendengarkan secara langsung
tentang ta’bir mimpi yang pernah diceritakan sebelumnya (lihat apa yang
tersebut dalam surat Yusuf dari ayat 43 sampai 49, pen.).
Setelah mendengar seluruh penuturan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Sang
Raja bertanya, “Siapa yang akan mendampingiku dalam hal ini, serta mampu
menyelesaikan, mengerjakan, dan mengatur semua urusan ini?”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
Raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”
Ibnul Jauzi rahimahullahu (588-587 H), menyebutkan dalam tafsirnya
riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, makna مَكِينٌ أَمِينٌ adalah
“Aku telah mengokohkan, menguatkan, dan memercayakan urusan kekuasaan
(kerajaan/negara) kepadamu.”
Al-Muqatil rahimahullahu berkata, makna الْـمَكِينُ yaitu orang yang
punya kedudukan (terkemuka). Sedangkan الْأَمِينُ yaitu yang menjaga,
memelihara, dan melindungi. (Lihat Zadul Masir 3/439)
Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya, الْـمَكِينُ
yaitu berpangkat, berkedudukan. Sedangkan الْأَمِينُ adalah yang
dipercaya.
Al-Alusi rahimahullahu dalam kitabnya Ruhul Ma’ani juga menyebutkan,
Al-Makin yaitu berpangkat dan berkedudukan yang tinggi. Al-Amin yaitu
dipercaya atas segala sesuatu.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).”
Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, kata
خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari خَزَانَةٌ artinya tempat menyimpan,
yaitu tempat peyimpanan makanan dan harta. Sedangkan الْأَرْضُ alif-lam
di sini berfungsi sebagai pengganti idhafah, maknanya خَزَائِنُ أَرْضِكَ
yaitu bendahara negaramu (Mesir).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu juga menyebutkan sebuah riwayat
dari jalan Sa’id bin Manshur rahimahullahu ia berkata, “Saya mendengar
dari Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Negeri Mesir adalah
خَزَائِنِ الْأَرْضِ. Tidakkah kalian mendengar firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
yaitu untuk menjaganya (menjadi bendahara negara), dengan menghilangkan mudhaf.
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu setelah menyebutkan ayat ini,
mengatakan bahwa para ulama berselisih dalam menafsirkannya hingga
menjadi tiga pendapat:
Pertama, mereka berpendapat, maknanya adalah: “Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga segala yang telah dititipkan kepadaku.
Berpengetahuan terhadap apa yang telah diserahkan/dilimpahkan kepadaku.”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq.
Kedua, pendapat yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah orang yang
pandai menjaga segala yang telah dilimpahkan kepadaku. Berpengetahuan
terhadap perkara (urusannya).”
Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari jalan Bisyr, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah.
Ketiga, ada pula yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah seorang yang
pandai menjaga untuk hisab/perhitungan (perihal pengeluaran dan
pemasukan harta milik negara, pen.), mengetahui beberapa bahasa.”
Pendapat ini disandarkan kepada sebuah riwayat, dari jalan Ibnu Waqi’, dari ‘Amr, dari Al-Asyja’i.
Setelah memaparkan tiga pendapat di atas, beliau berkata:
“Menurut kami pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Karena
ucapan ini terjadi setelah Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada
raja: ”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).” Bentuk permohonan Nabi
Yusuf kepada raja, bahwa ia mampu mengurusi (sebagai bendahara) negara
Mesir, menunjukkan, bahkan sekaligus sebagai pemberitaan bahwa beliau
memiliki kemampuan dalam hal ini. Makna ini lebih sesuai untuk memaknai
kalimat ﭻ ﭼ ketimbang dimaknakan dengan makna sebagaimana yang tersebut
pada pendapat ketiga (tersebut di atas).”
Abul Fida Isma’il bin Umar, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir
rahimahullahu (700-774 H), berkata setelah menyebutkan dua ayat di atas:
“Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang Raja
Mesir (Ar-Rayyan bin Al-Walid), setelah memastikan terbebasnya Nabi
Yusuf ‘alaihissalam, bersih dan sucinya kehormatan beliau dari apa yang
dituduhkan kepadanya. Raja mengatakan sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku”,
yakni jadikanlah dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagiku.
فَلَمَّا كَلَّمَهُ
“Maka tatkala telah bercakap-cakap dengan dia”
yakni raja telah bercakap-cakap dengannya, mengetahui serta melihat
keutamaan, kepandaian, kemahiran, dan kecakapan serta keutamaan dan
kesempurnaan pada rupa dan perangainya, berkatalah raja kepadanya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”
yakni, sesungguhnya kamu di sisi kami telah menjadi seseorang yang
berkedudukan dan dipercaya. Yusuf ‘alaihissalam berkata, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Nabi Yusuf ‘alaihissalam memuji dirinya. Hal ini diperbolehkan bagi
seorang yang belum diketahui tentang keadaan dirinya, pada saat yang
dibutuhkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa ia adalah orang
yang حَفِيظٌ (pandai menjaga), penjaga/bendahara yang dipercaya, عَلِيمٌ
(berpengetahuan), yakni memiliki pengetahuan, ketelitian, dan kejelian
terhadap segala perkara yang diurusinya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir,
4/275)
Perlu diketahui sekali lagi, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam
mengucapkan ucapan yang mengandung pujian terhadap dirinya tersebut
adalah ketika beliau telah mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi
raja. Bukan serta merta beliau memuji dirinya untuk meraih kedudukan.
Tentu hal ini berbeda dengan keadaan para kontestan pemilu atau para
politikus yang berkampanye memuji diri dalam rangka meraih kedudukan dan
ambisi politiknya.
Faedah
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya:
“Sebagian ulama berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang
diperbolehkannya bagi orang yang baik (shalih), bekerja untuk orang yang
buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan syarat, orang tersebut
tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya (diberi
kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang
yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan
mengatur sesuai dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan
bermanfaat). Adapun kalau pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada
kemauan dan kehendak orang yang fajir atau (penguasa yang kafir),
menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan mereka), hal yang
demikian ini tidak diperbolehkan.
Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/
penguasa yang kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja.
Adapun sekarang tidak diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat
(boleh dan bukan kekhususan), dengan syarat yang telah disebutkan tadi.
Al-Mawardi rahimahullahu berkata:
“Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim, para ulama berbeda
pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja dengannya.
Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik
dan benar (memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh
kepadanya (untuk mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf
‘alaihissalam bekerja (menerima pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1.
Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan) beliau dan bukan pada
orang lain.
Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya
bentuk/unsur menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka,
dengan meniru (melakukan) perbuatannya.
Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang
zalim, menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima
pekerjaan dari Fir’aun, dengan dua jawaban:
Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih
(muslim). Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun
(raja)-nya Nabi Musa ‘alaihissalam.
Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”
Al-Mawardi berkata:
“Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga kesimpulan:
1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk
melakukannya. Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat)
dalam melaksanakan tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.
Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim.
Karena, adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan
zakat itu disalurkan telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi
adanya ijtihad. (Maka kebebasan bertindak dalam hal ini, telah menjadi
cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti perintah [peraturan orang
zalim tersebut, pen.]).
2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak
sendiri, adanya keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif)
dalam mengatur urusan, seperti menangani harta rampasan.
Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima
penugasan dari orang yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan
tindakan yang tidak benar dan berijtihad (berpendapat, mengatur) pada
perkara yang tidak berhak untuk melakukannya.
3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan
boleh baginya berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila
terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa,
(maka boleh baginya bekerja untuk orang yang zalim, pen.). Namun apabila
terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata setelah menyebutkan ayat di atas:
“Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i dan hukum, ilmu
ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu
kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf
‘alaihissalam memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat
kelak, yaitu adanya ilmu yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai
macam ilmu). Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk
bagian dari fatwa. Maka tidak boleh bagi siapapun untuk mena’birkan
suatu mimpi dan memastikannya, sebelum mengetahui secara pasti.
Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh bagi siapapun
berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan
nama ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan
diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)
Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan
tentang dirinya, berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu
pengetahuan dan yang lainnya. Hal ini boleh dilakukan selama membawa
maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak bermaksud untuk
memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat:
Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Catatan: Beberapa rujukan yang tersebut di atas, keumumannya dinukil
dari Al-Maktabah Asy-Syamilah. Mengingat keterbatasan rujukan yang ada
pada kami.
Wallahu a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.
1 Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, fir’aun
(pharao) adalah nama yang dipakai untuk penyebutan raja-raja Mesir zaman
dahulu. Sebagaimana Qaisar (Kaisar) atau Hiraql (Heraklius) untuk
penamaan raja-raja Romawi. Adapun Persia terkenal penyebutannya dengan
Al-Akasirah, bentuk jamak dari Kisra. Sedangkan raja-raja Yaman dikenal
penamaannya dengan At-Taba’ah, jamak dari Taba’. Kemudian beliau
menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, bahwa fir’aun-nya Nabi
Yusuf adalah raja terkemuka bernama Ar-Rayyan bin Al-Walid, dan masuk
Islam (mengikuti ajaran Nabi Yusuf ‘alaihissalam). Sedangkan fir’aun-nya
Nabi Musa ‘alaihissalam adalah raja yang bernama Al-Walid bin Mush’ab
bin Ar-Rayyan (dan menentang ajaran Nabi Musa ‘alaihissalam)
Sumber : http://www.Asysyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar